Santri dan Dakwah Kontekstual

asynira-dakwah-itu-cinta_1024

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada moment idhul fitri, saya bertemu dengan salh satu saudara saya yang kebetulan pernah nyantri di salah satu Pondok Pesantren Salafi di daerah Jawa Tengah. Dalam kurikulum pondok salaf, santrinya diharuskan menamatkan buku/kitab kuning pada setiap jenjangnya.

Saudara saya bercerita bahwa di akhir masa nyantrinya di sana, ia sudah menamatkan satu buku, yg merupakan karya besar dari Imam Al-Ghozali, berjudul Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang membicarakan mengenai tasawwuf. Dia bercerita begini:

“Setelah menamatkan buku ini, saya menyadari dan menyimpulkan bahwa apa yg tertulis dalam buku ini sangat sulit utk diaplikasikan–bahkan hampir mustahil—dalam konteks zaman ini: yang sudah sangat bebas dgn permasalahan yang sangat kompleks.”

Dengan permasalahan manusia yang semakin kompleks ini, dia mencoba mendakwahkan Islam dengan lebih moderat (tawassuth/tawazun). Berawal dari hal yang paling dekat, yaitu lingkungannya sendiri.

Dia menceritakan usahanya ketika mencoba masuk dan akrab ke dalam kumpulan anak muda yang hoby “minum” arak—bahkan itulah suplemen pengganti nasi—bisa 3 kali dalam sehari. Ketika dia berusaha mendekati mereka, hingga pada akhirnya mereka mau diajak untuk “nongkrong” di masjid dan tahlilan bersama. Selain itu, jadwal “minum” mereka juga sudah mulai berkurang, sedikit demi sedikit.

Dari cerita singkat di atas, saya ingin mengatakan bahwa: dakwah kultural dan kontekstual sebagaimana yang cukup berhasil dia lakukan, patut dicontoh guna memberikan cara alternatif (bagi para da’i, ustadz bahkan lembaga dakwah kampus atau rohis) dalam mendakwahkan Islam kepada masyarakat sampai pelajar dan mahasiswa dalam konteks zaman sangat yang kompleks.

Artinya bahwa objek dakwah di zaman ini sudah semakin berkembang, begitu pula cara yang digunakan dalam mendakwahkan Islam juga harus berkembang. Karena tidak cukup hanya dengan mengutuk mereka; mengatakan ini haram itu haram dsb. Namun juga harus diikuti dakwah dengan jalan yang damai; pendekatan kepada mereka untuk kemudian mengarahkan ke shiratal mustaqiim. Bisa jadi mereka berbuat maksiat karena tidak ada yg mengarahkan ke jalan yang benar; malah sibuk mengutuk mereka.

Seorang santri salaf sudah mampu membuktikan bahwa paradigma lama yang menyatakan santri salaf berpikir normatif-tekstual saja, harus diganti. Bahwa mereka juga berpikir historis-kontekstual dalam berdakwah. Wallahu A’lam.

Leave a comment